Perahu penyelamat di kapal induk telah digunakan para pelaut Muslim sejak abad kesembilan.
Bercengkerama dengan alam telah melahirkan kemahiran tersendiri bagi
umat Islam. Para ilmuwan Muslim kemudian juga memiliki ilmu pengetahuan
mengenai alam semesta. Misalnya, menentukan ke mana arah angin dan
memperkirakan terjadinya badai.
Ilmu pengetahuan ini, yang kemudian disebut meteorologi, menularkan
manfaat bagi para pelaut Muslim, misalnya, dalam upaya mereka mengarungi
ganasnya samudra dan menentukan waktu harus melaut. Pun, masyarakat
umum dalam mengantisipasi terjadinya badai.
Ilmuwan Muslim mengenal beragam jenis badai berbahaya dan dampak yang
ditimbulkannya. Dan tentunya, mereka perlu memperkirakan kedatangan
badai tersebut. Filolog Arab pada awal masa Islam menyebutkan ada
sejumlah karya ilmuwan Muslim mengenai bidang ini.
Dalam sebuah risalah disebutkan terdapat 100 kata yang menguraikan
tentang jenis angin menurut dampaknya, kualitas, dan arah angin
tersebut. Termasuk, angin ribut d
Pada abad kesembilan, ilmuwan Muslim, Al-Kindi, menghasilkan sebuah
karya yang terkait dengan masalah meteorologi. Bahkan, ia dikenal
sebagai ilmuwan pertama yang memperkenalkan percobaan dalam ilmu bumi,
termasuk meteorologi.
Al-Kindi juga menulis buku berjudul Risala fi l-Illa al-Failali l-Madd
wa l-Fazr. Salah satu hal yang ia jelaskan di dalam bukunya adalah soal
angin. Menurut dia, angin terkait dengan pergerakan udara, termasuk ke
tempat-tempat lebih rendah.
Selain itu, Al-Kindi juga melakukan percobaan di laboratoriumnya. Dalam
percobaan itu, Al-Kindi menemukan bagaimana udara yang sangat dingin
berubah wujud menjadi air. Dia mengambil botol kaca lalu memenuhi botol
tersebut dengan salju dan menutupinya secara rapat.
Lalu, pada permukaan botol tersebut udara berubah menjadi air, seperti
botolnya mengeluarkan titik-titik air. Melalui percobaan itu, ia pun
meluruskan pandangan sejumlah orang. Ia mengatakan, air atau salju tak
dapat melewati kaca.
Pada abad ke-12 dan ke-13, Al-Tifashi yang hidup antara 1184 hingga
1253, mengikuti jejak Al-Kindi. Ia membuat definisi tentang angin ribut,
yaitu angin yang mengembangkan kekuatannya dan naik ke atmosfer. Ada
pula, ilmuwan Muslim bernama Al-Qazwini (1203-1283).
Al-Qazwini juga mengulang ide Al-Kindi. Ia membuat sebuah definisi yang
hampir sama dengan apa yang telah dinyatakan Al-Tifashi. Namun, ia
memberikan definisi yang lebih perinci. Pengetahuan tentang angin
kemudian dikembangkan lebih jauh.
Langkah ini dilakukan oleh Ahmed Ibn Majid, yang berasal dari Ras
al-Khaymah yang sekarang lebih dikenal Uni Emirat Arab dan Sulayman
al-Mahri dari Yaman. Kedua orang tersebut merupakan navigator kapal dan
pengetahuan tentang angin sangat berguna bagi pekerjaan mereka.
Sebagai navigator kapal, mereka memanfaatkan ilmu tersebut dalam
menjalankan profesinya. Dalam pembicaraannya mengenai topan, Al-Mahri
mengatakan, sangat perlu seorang navigator untuk tahu banyak tentang
topan dan tanda-tanda datangnya.
Tanda-tanda yang biasanya menyertai datangnya topan adalah meningginya
temperatur air laut, hujan lebat, dan perubahan angin yang begitu
tiba-tiba. Sedangkan Al-Mahri, menyebut ada lima jenis topan di Samudra
India yang biasa menerjang kapal yang berlayar.
Salah satu jenis topan yang ada dalam daftar Al-Mahri adalah topan 40.
Ini merupakan topan urutan ketiga dalam daftarnya. Menurut dia, topan
jenis ini biasanya menghantam Laut Hurmuz. Ibn Majid juga berbicara
mengenai topan.
Menurut Ibn Majid, ada topan yang menerjang laut dalam beberapa tahun
dan hilang pada beberapa tahun lainnya. Topan memiliki tanda-tanda saat
datang. Di antaranya adalah meningkatnya debu di daratan dan laut.
Tanda lainnya, petir dan awan menutupi langit. Ini terjadi saat langit
tertutup awan yang warnanya seperti warna kulit sapi. Setelah mengetahui
hal ihwal angin, navigator menentukan langkah yang harus dipersiapkan
sebelum dan saat berlayar.
Seorang navigator akan meminta sejumlah awak kapal untuk meneliti
lambung kapal saat masih berada di daratan. Ini untuk meneliti apakah
ada bahan pembuat kapal yang tak memenuhi standar dan menuliskannya.
Tak hanya itu, para awak kapal juga diminta untuk terus memeriksa
peralatan berlayar setiap saat. Ini perlu dilakukan agar semua peralatan
dalam keadaan baik dan bisa segera diperbaiki bila terjadi kerusakan.
Selain itu, ada langkah lain yang juga perlu dilakukan, yaitu
mempertimbangkan antara kapasitas kapal dengan beban kargo dan muatan
yang dibawa penumpang ke dalam kapal. Bahkan, ada urutan siapa yang
bertanggung jawab jika prosedur ini dilanggar.
Pertama yang bertanggung jawab adalah kapten kapal. Selanjutnya, pemilik
barang atau para pedagang yang biasanya membawa muatan dalam kapal. Ini
jika mereka telah diingatkan mengenai kelebihan beban muatan.
Pemilik kapal juga dimintai pertanggungjawabannya jika terbukti terlibat
dalam pelanggaran tersebut. Ada pula langkah yang biasa
direkomendasikan kepada para navigator untuk menghindari hantaman topan,
yaitu kembali ke pelabuhan terdekat.
Kasus seperti ini pernah terjadi pada Sabtu, 13 November 1518. Saat itu,
sejumlah kapal yang meninggalkan Alexandria menuju Istanbul, terpaksa
harus kembali ke pelabuhan Rosetta karena adanya topan yang menghadang
mereka.
Membawa perahu penyelamat seperti yang lazim ada pada kapal-kapal besar
di masa sekarang, telah dilakukan pada masa itu. Ini merupakan langkah
kehati-hatian dalam menghadapi badai yang terjadi di tengah samudra.
Perahu penyelamat yang ditempatkan di kapal induk, telah diketahui dan
digunakan oleh para navigator Muslim dan Arab selama masa periode klasik
Islam, yaitu pada abad kesembilan hingga ke-13.
Biasanya perahu-perahu tersebut digunakan ketika kapal induk tak dapat
lagi menahan hantaman badai. Selain itu, perahu itu juga bisa digunakan
untuk perjalanan laut jarak pendek saat musim angin tiba.
MENYINGKAP RAHASIA HUJAN
Tak hanya persoalan angin yang telah menarik perhatian ilmuwan Muslim.
Gejala alam lainnya juga menarik perhatian mereka. Pada abad ke-9, ada
Ibnu Doraid Al-Azdi yang me nulis sebuah buku yang dalam terjemahan
bahasa Inggris berju dul Description of Rain and Clouds.
Dalam buku yang berisi 27 bab itu, Ibnu Doraid memberikan penjelasan
ilmiah tentang hujan dan awan. Selain itu, buku ini juga membahas
perkiraan cuaca; deskripsi awan, baik corak maupun warna mereka; gerakan
awan; akumulasi; serta penebalan dan perubahan bentuk awan.
Ibnu Doraid pun memberi gambaran mengenai jenis curah hujan dan efeknya
terhadap tanah dan sumber daya air tanah. Seperti dikutip
muslimheritage, ia memberikan penjelasan mengenai Al-Hamma’a dan
Al-Hawwa’a atau awan hitam yang menjadi merah.
Selain hujan dan awan, Ibnu Doraid menjelaskan kilat. Ia membagi kilat
berdasarkan intensitas cahayanya. Al-hafo merupakan kilat yang paling
lemah, Al-wamed bentuknya mirip senyum kecil, dan Al-wallaf adalah kilat
yang menyerang dua kali.
Dengan mengetahui gerak dan penyebaran awan serta intensitas kilat, Ibnu
Doraid memperkirakan jumlah dan tingkat kelebatan hujan. Ia menjelaskan
pula jenis intensitas hujan, antara lain Ghait Thare atau hujan deras.
Seabad kemudian, Ibnu Wahshiyyahe, seorang ahli di bidang pertanian dari
Irak, menulis buku berjudul Kitab al-Falaha al-Nabatiya. Buku ini
berisi pembahasan mengenai perkiraan cuaca, perubahan atmosfer, dan
tanda turunnya hujan berdasar fase bulan.
Dengan adanya perkiraan cuaca, kemudian diketahui awal musim tanam
secara tepat. Ini melahirkan kemajuan yang berarti bagi umat Islam dalam
bidang pertanian. Para petani pun bisa merencanakan penanaman sejumlah
tanaman dan panen dalam setahun.
Ada pula Ibn al-Haytham, lebih dikenal Alhazen, yang pada 1021
memperkenalkan bukunya yang berjudul Kitab Optik. Ia membahas soal
pergantian masa. Salah satu penjelasannya mengenai senja yang ia yakini
disebabkan oleh pembiasan atmosfer.
Alhazen juga menyatakan, senja baru akan mewujud saat matahari berada 19
derajat di bawah cakrawala. Ia pun menerbitkan kitab lainnya sebagai
pelengkap Kitab Optik, yaitu Risalah fi l-Daw atau risalah tentang
cahaya.
Dalam Risalah fi l-Daw, Alhazen memberikan penjelasan tentang
meteorologi, pelangi, kepadatan atmosfer, dan berbagai fenomena langit
lainnya, termasuk gerhana, matahari terbenam, dan cahaya bulan.
dya/taq/republika
an topan. Kian banyak buku tentang
meteorologi seiring penerjemahan buku-buku Yunani.
Menganalisa Tanda Alam
Written By Yayasan Tarbiyatul Ulum Temayang Bojonegoro on Sabtu, 14 September 2013 | 17.27
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar